Aku adalah setetes embun pagi bagimu Cinta, sebelum dia datang di kehidupanmu. Kutemukan dirimu dengan hati yang terluka, karena orang-orang yang kau cintai tak pernah memberikan cinta tulus padamu. Dirimu korban keluarga broken home! Aku yang selalu sunyi dari cinta, merasa menemukan teman hidup yang senasib. Kita jalani hidup ini berdua dengan segala duka citanya.
Aku turut bahagia melihat wajahmu kembali berseri-seri, setelah sekian lama tak memantulkan cahaya keceriaan. Sepertinya, kau bahagia hidup bersamaku. Kedekatan kita terjalin mulus selama beberapa tahun. Namun belakangan ini, kau mulai terlihat berbeda dimataku Cinta. Kau lebih pendiam dan sensitive dari biasanya. Dan yang lebih mengejutkanku, kau semakin sering memberikan nasehat padaku tentang perbuatan dosa dan hari akhirat. Aku tak lagi menemukan keceriaan di wajahmu. Seharusnya, tak kubiarkan kau sendirian menggapai jalan-Nya. Seharusnya, bersama-sama kita berusaha meraihnya.
Tapi, aku begitu arogan untuk ikut bersimpuh dan bersujud memohon ampunan-Nya. Apalagi saat cahaya cinta itu menghampirimu. Cahaya cinta yang selalu kau pinta dalam setiap doamu. Yang Kuasa mengabulkannya lewat dia. Dia yang kemudian mengisi hari-harimu. Aku bertambah marah. Itu berarti kau akan pergi dari hidupku. Pancaran cintanya menerangi kegelapan hatimu. Membuatmu semakin yakin untuk keluar dari penjara dosa yang telah sekian lama mengungkungmu saat bersamaku. Cintanya yang murni, membimbingmu kembali pulang. Pulang kepada cinta karena-Nya. Sang pemilik cinta itu sendiri. .
Sementara aku, memilih untuk terus mengikuti rasa cintaku yang hina ini tanpa rasa takut. Tepatnya, aku berusaha menghilangkan rasa takut dosa itu. Berusaha sekuatnya menutup telinga dari suara batinku yang terus terngiang-ngiang. Bukankah cinta yang sedang kau jalani ini tidak benar dimata Tuhan? Namun aku tetap tak bergeming, kala mendengar teriakan hati nuraniku sendiri.
Suatu hari di malam minggu yang romantis. Aku mengintip dari celah-celah dinding kayu yang berlubang disamping pintu kamar kostku, yang terletak tak jauh dari ruang tamu kostmu. Sosok lelaki atletis dan berwajah tampan dengan bulu-bulu halus disekitar dagunya sedang tersenyum manis ke arahmu. Kedua pipimu yang putih memerah karena malu. Belum pernah aku melihatmu sebahagia ini sebelumnya. Wajahmu memancarkan sinar kegembiraan yang tiada tara.
Tak lama kemudian, kamu pergi keluar bersamanya. Menyaksikan itu semua, aku seperti terlempar ke sebuah negeri asing. Tercampak tanpa ada yang perduli dengan nasib diriku selanjutnya. Aku begitu membenci pria bertubuh tegap itu. Pria yang sangat smart dan santun, yang sebentar lagi akan memisahkan diriku denganmu. Sejak pria itu mengisi hari-harimu, kau mulai terlihat berbeda dimataku. Seperti membuat jarak denganku. Aku merasa kau tak membutuhkan diriku lagi.
Dulu kita selalu berdua. Kemanapun kita pergi, selalu berdua. Tapi sekarang? Hati dan pikiranmu mulai disibukkan oleh pria itu. Pria yang berhasil membuatmu tersanjung setiap saat, karena selalu membawakan coklat dan mawar merah yang merekah indah untukmu. Ketika kau pulang dari kencan, aku memasang wajah tak senang. Meski aku tahu hatimu tengah begitu senang. Dan akupun tak tahan lagi.
“Karena itukah kau jatuh cinta padanya Cinta? Pasti dia begitu takut kehilanganmu. Tahukah kau kalau aku juga merasakan hal yang sama?”
“Apa maksudmu Jo?”
“Aku tak suka melihat hubungan kalian. Aku cemburu Cinta! Apalagi saat dia ingin secepatnya menjadi pendamping hidupmu. Itu artinya kau akan melupakan aku. Kuharap, kau putuskan hubunganmu dengannya!” Cinta sudah menduganya, dan hanya menjawab dengan diam.
“Jawab aku Cinta!” ucapku lagi. Cinta tetap bungkam. Tak mampu menerima kenyataan, aku mencoba mengiris urat nadiku. Aku tahu, tindakan ini mampu membuatmu menjadi sangat panik, saat aku berulangkali mencoba mengiris urat nadiku di depan matamu. Dan kau akan kembali mengulangi kata-kata yang sama, saat aku melakukan hal yang sama
"Bukankah salah satu bukti cinta, membiarkan orang yang dicintainya bahagia Jo? Tapi mengapa kau begitu egois? Membiarkanku terus bersimbah air mata menjalani hubungan yang hina ini," Cinta sesenggukan. Tubuhku ia guncang dengan keras. "Mengapa tetap kau lakukan tindakan konyol dan berbahaya ini Jo?!” tanya Cinta lagi dengan nada tinggi.
“Maafkan aku Cinta! Aku tak siap karena kau mulai membagi perhatianmu pada lelaki itu. Semakin lama kasih sayangmu hanya tertuju padanya. Seutuhnya kini hanya untuknya. Kau tak lagi menyisakan sedikit untukku. Aku ingin hidup bersamamu sampai tua, tanpa ada orang lain. Apakah salah?”
“Tentu saja Jo. Perasaanmu padaku itu salah! kamu kan sudah berkeluarga?”
“Oh Cinta. Aku merasa tidak ada yang salah dengan perasaanku. Cintaku tak pernah salah Cinta! Sebab tulus keluar dari hatiku yang paling dalam.”
“Aku tak ingin membahasnya lagi Jo. Lebih baik aku segera pindah dari kost ini!” Cinta pun segera masuk kekamarnya dan berkemas-kemas. Tak berapa lama, Cinta pun berlalu dari hadapanku. Tanpa memperdulikan diriku yang berteriak histeris. Aku melihat api kebencian di sudut matamu, saat memandangku sebelum berlalu. Mungkinkah kau akan kembali lagi? Seperti yang pernah kau lakukan dulu. Kembali setelah kemarahanmu mereda. Tapi aku tak yakin kali ini.
Cinta didalam bis kopaja
Mengapa Jo sekarang semakin mengekang hidupku? Kecemburuannya bagaikan tak terkendali. Bagaikan kuda liar yang lepas dari kandangnya, Cinta mendesah pilu. Tetes airmatanya terus mengalir membasahi kedua pipi putihnya..
Memang, dulu Jo adalah orang yang mampu memberikan cinta yang tak pernah aku dapatkan dikeluargaku. Terutama dari kedua orang tuaku. Adapun keempat orang kakakku tak lagi perduli padaku, dan memilih jalan hidup masing-masing semenjak kedua orang tuaku bercerai. Haruskah aku terus terbuai dalam kasih sayang Jo yang sering tidak pada tempatnya? Meski dulu aku menikmatinya.
Selama ini Jo begitu menyayangiku, hingga ingin menguasai hidupku. Bahkan bisa dibilang cintanya Jo begitu terlalu padaku. Tapi masalahnya, Jo sudah memiliki istri dikota kelahirannya. Dan aku tak ingin lagi melanjutkan hubungan perselingkuhan ini. Tak hanya sekali aku mengingatkan Jo akan perbuatan tak pantas kami. Baik dimata manusia, apalagi dimata Tuhan.
Aku tak ingin terlambat untuk bertobat. Sebelum ajal datang menjemput. Tapi mata hati Jo seolah-olah menolak kebenaran yang datang padanya. Mungkin, inilah saatnya aku pergi dari hidup Jo untuk selama-lamanya. Agar kami bisa selamat dunia dan akhirat. Aku tak boleh lagi menoleh kebelakang dengan alasan apapun. Dan bersiap-siap menatap masa depan yang diridhoi oleh Tuhan. Sebagai bukti betapa diriku kasihan pada Jo, bila kami tetap bersama. Yah, inilah keputusan terbaik untuk diriku dan Jo.
Jo
Pagi ini aku bangun dari tidur dengan perasaan lesu. Aku bangkit dari peraduan. Sinar matahari langsung menerangi kamarku begitu jendela kubuka. Tapi sinar itu tak mampu menerangi gelapnya kehidupanku. Aku merasa hidupku bagaikan nyala lilin yang sebentar lagi akan padam. Habis begitu saja dimakan usia. Akan sia-siakah hidupku? Rasanya, hidup yang kini aku jalani tak ada tujuan. Aku tersesat di rimba kehidupan ini, tanpa pedoman arah yang pasti.
Enam bulan sudah Cinta pergi dan tak kembali. Aku tertatih-tatih menjalani hidupku seorang diri dalam kesunyian. Kutatap isi kamarku dengan perasaan hampa, sembari duduk merenung di depan jendela, teringat Cinta selalu duduk disini sambil membaca buku berlama-lama, saat main kekamarku. Kau memang kutu buku Cinta. Kau baru terusik bila aku memanggilmu "Hai Orang Amerika!" Sebab bila sedang asyik membaca, kau bagaikan orang asing. Lupa pada semuanya, termasuk diriku, desahku pilu.
Aku hanya bisa merintih didalam hati. Membayangkan tak akan ada lagi kehangatan dikost ini. Tak akan kulihat lagi tawa Cinta, saat aku mencoba menghiburnya dengan segudang cerita humorku. Aku menyalahkan takdir! Mengapa aku bisa mencintai orang yang salah? Yang kini tanpa merasa bersalah pergi meninggalkan kenangan manis itu. Kenangan dimana saling memperhatikan satu sama lain. Akh, Cinta… Mungkin kenangan itu tak ingin kau ingat kembali. Kenangan manis bersamaku, yang tak pernah kau inginkan hadir dalam hidupmu.
Aku mengeluarkan buku harian dari dalam tas ranselku. Buku bersampul biru yang selalu setia menemani hari-hariku selama tak ada Cinta.
Cinta… Kapan kita bersama lagi. Membahas fenomena yang selalu ada di sekitar kita. Tapi aku paling suka bila kau sedang membahas fenomena diriku. Walau nasehat dan masukanmu tak selalu kuturuti. Namun kau terus melakukannya tanpa rasa bosan. Itulah yang kukagumi darimu.
Maafkanlah pria yang fenomenal ini. Sampai kapanpun, aku tetap membutuhkanmu. Tidakkah kau tahu? Dikala kesusahan mendera, kuingin kau ada dan menghiburku. Dikala kesenangan hadir, kuingin kau juga ada dan ikut merasakannya.
Kuingin selalu berbagi denganmu. Kuharapkan selalu hadirmu Cinta. Tidak seperti bayangan. Yang hadir hanya pada saat terang benderang. Masih maukah kau menyertaiku? Tidak hanya dalam terang. Tapi juga dalam kegelapan hari-hariku. Kusangat butuhkan dirimu. Untuk berbagi kebahagiaan, kesenangan, pengalaman, dan berbagi dalam duka deritanya hidup. Hingga menangis dan tertawa bersama.
Hampir seharian kutumpahkan isi hatiku dibuku bersampul biru milikku. Sebiru rindu dendamku pada Cinta. Lagu cinta terlarang the Virgin terus mengalun dari mp3 ku. Tapi tak jua mampu menghapus rasa kangenku pada Cinta. Pada suara halusnya, perhatian tulusnya, juga kemarahan-kemarahan Cinta yang penuh kasih sayang padaku.
Hari mulai terang-terang laras saat aku menginjakkan kaki di depan gedung tua kantor pos Yogya. Mengenakan celana jins dan kemeja biru dengan lengan yang digulung sampai kesiku—tak lupa topi hitam menutupi rambut cepakku. Aku berjalan kaki sendiri menyusuri jalan Malioboro. Hatiku Rasanya begitu hampa. Tembang para pengamen di sudut-sudut jalanan bergema. Orang-orang duduk bersila menikmati indahnya kota yang berhati nyaman ini. Tapi tak senyaman hatiku kini.
Kuputuskan untuk singgah di lesehan burung dara bakar kesukaan kami. Aku tak bisa menghapus kenangan saat duduk dipojokan sambil bercerita apa saja sambil menunggu burung dara bakar tersaji. Setelah perut terisi, biasanya kami masuk ke Mall untuk sekedar mencuci mata. Tapi belakangan Cinta lebih sering mengajakku ke toko yang menjual buku dan kaset agama. Meski membosankan, aku tetap setia menemani Cinta membuka-buka dan membaca buku di toko itu. Sampai akhirnya membawa buku itu kekasir dan membayarnya sebelum memutuskan untuk pulang. Kalau disuruh memilih, aku lebih betah melihat pameran di Gedung Kesenian Yogya.
Memandangi dengan takjub lukisan dari berbagai aliran. Juga menikmati indahnya hasil karya pegiat seni yang tak pernah berhenti berkreasi. Entah sudah berapa kali aku menyusuri tempat yang biasa aku dan Cinta kunjungi. Ke toko buku Gramedia, ke pantai Parangtritis, ke candi Prambanan. Bahkan sampai ke candi Boko. Tempat kami biasa melewati senja sambil memandang kota Yogya dari ketinggian. Senja yang benar-benar indah yang pernah kulihat bersama Cinta. Tapi nihil! Bahkan bayangan Cinta pun tak kutemui.
Aku terus mencari sampai putus asa. Bagaikan mencari jarum ditumpukan jerami. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang karena kakiku telah penat berjalan seharian. Segera ku stop bis kopaja yang berhenti tepat didepan hidungku. Cinta…Aku percaya dia bisa membahagiakanmu. Biarkanlah aku berteman sepi dan derita. Aku hanya bisa berharap suatu saat nanti, aku bisa kembali mencintai istriku, Meski dulu kami menikah tanpa cinta, karena perjodohan yang dipaksa. Doakan aku Cinta. Aku ingin mengubah hidupku. Aku akan berusaha walau tak mudah menerima kepergianmu. Doaku di dalam hati. Berusaha menghibur perihnya hati.
Tanpa terasa, bis kopaja sudah hampir sampai di tujuan. Setelah membelok ke pojok beteng kulon, “Kiri bang!” aku segera melompat turun. Sebelum kedua kakiku mendarat tepat diatas tanah, bis segera melaju dengan kecepatan tinggi.
“Hati-hati Mas!” Samar-samar kudengar teriakan kenek bis kopaja, sebelum diriku terpental jatuh membentur aspal. Darah segar mengucur deras. Akupun merasakan semuanya gelap. Bersamaan dengan itu,
“Jooo!!!” Seseorang berteriak panik dari seberang jalan. “Benturan keras dikepalanya mengakibatkan pasien mengalami pendarahan di otak. Tapi saya yakin mukjizat itu masih ada. Kita doakan saja dia segera sadar dari komanya. Anda saudara kandung korban?” tanya seorang lelaki muda berpakaian putih-putih.
“Saya teman dekat korban dok,” jawab Cinta cemas. Semoga bukanlah hari yang terlambat bagi Jovan untuk menyadari satu hal, bahwa saling mencintai diantara mereka adalah sebuah perasaan yang keliru, karena sesungguhnya mereka telah tersesat dalam cinta yang bukan dijalan Tuhan.
Cinta pun tak dapat menahan jatuhnya bulir air mata di kedua pipinya, ketika memandang banyaknya peralatan medis terpasang ditubuh Jovan. Diluar langit mendung. Semendung hati Cinta yang kini terus menangisi orang yang pernah ia cintai dan mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar